Wisata Seks – Jepang sudah lama dikenal sebagai negara yang unik, bahkan ekstrem, dalam memandang seksualitas. Tapi apa yang terjadi belakangan ini membuat dunia mengerutkan dahi dan mengangkat alis bersamaan. Wisata seks di Negeri Sakura kini bukan hanya konsumsi dalam negeri. Ia merangsek ke ranah global, menjadi komoditas panas berkat konten-konten viral di media sosial yang menguak sisi liar Jepang yang selama ini hanya di bisikkan diam-diam.
Platform seperti TikTok dan YouTube kini ramai dengan cuplikan singkat para wisatawan yang memamerkan kunjungannya ke distrik-distrik lampu merah seperti Kabukicho di Shinjuku atau Soapland di Yoshiwara. Dalam satu swipe saja, pengguna bisa melihat klip yang menampilkan papan-papan neon bertuliskan layanan dewasa, “pemandu” yang berdiri di lorong sempit, atau bahkan tur ke hotel kapsul khusus dewasa.
Yang dulunya misteri, sekarang jadi tontonan. Dan bukan sembarang tontonan—ini viral, brutal, dan semakin banal.
Kabukicho: Surga Duniawi yang Terang Benderang
Di tengah kota Tokyo yang super modern dan serba tertata, berdiri Kabukicho—sebuah distrik yang secara terang-terangan menawarkan layanan seksual dalam berbagai bentuk. Jalanan ini tak pernah tidur. Lampu menyala sepanjang malam, musik berdentum dari klub-klub malam, dan pelayan-pelayan klub berdasi rapi menawarkan “hiburan” dengan senyum bonus new member.
Wisatawan asing makin banyak yang datang bukan sekadar untuk “menggunakan layanan”, tapi juga untuk melihat dan merekam pengalaman tersebut. Parahnya, konten-konten ini di kemas seperti travel vlog biasa—dengan gaya santai, lucu, bahkan kekanak-kanakan, seolah ini hanya bagian dari atraksi budaya. Tidak ada sensor, tidak ada rasa bersalah, yang ada hanya rasa ingin tahu yang di bakar oleh algoritma digital.
Soapland dan Host Club: Layanan Eksklusif yang Diburu
Soapland, sebuah jenis tempat mandi eksklusif di mana pelanggan di mandikan oleh pekerja seks, kini naik kelas menjadi salah satu “bucket list” wisata unik bagi pelancong asing. Dalam banyak konten viral, Soapland di gambarkan sebagai tempat “terapi tubuh dan pikiran”—sebuah eufemisme yang terlalu halus untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di balik tirai uap air panas itu.
Tak kalah kontroversial, Host Club juga menjadi daya tarik tersendiri. Di sini, pelanggan perempuan di suguhi pria-pria muda berwajah tampan yang di bayar untuk menemani minum, ngobrol, dan—jika harganya cocok—lebih dari itu. Video-video memperlihatkan betapa uang di lemparkan seperti confetti demi sejenak perhatian dari “host” idaman.
Gila? Mungkin. Tapi slot justru memanen keuntungan dari semua ini.
Budaya Pop, Fetish, dan Mesin Uang
Industri ini tidak berdiri sendiri. Ia di sokong oleh budaya pop Jepang yang memang sejak lama akrab dengan konten erotik, dari manga dewasa hingga maid café yang menyisipkan sensualitas dalam pelayanan. Bahkan vending machine yang menjual pakaian dalam bekas pun bukan mitos—itu nyata dan laku keras.
Viralitas hanya memperkuat sistem yang sudah mapan. Alih-alih menurunkan stigma, konten-konten ini justru membungkus industri seks dalam kemasan “kewajaran baru”. Yang dulunya diam-diam, kini di pertontonkan tanpa malu-malu.
Dan ini bukan cuma soal konsumsi. Banyak influencer luar negeri yang datang untuk menciptakan konten demi engagement. Mereka memanfaatkan kebebasan hukum dan kelonggaran moral Jepang dalam urusan seks sebagai ladang cuan. Wisata seks berubah menjadi bisnis digital, dan yang memperdagangkan bukan cuma tubuh—tapi juga sensasi dan perhatian.
Antara Kejutan Budaya dan Eksploitasi Global
Kontroversi pun tak terelakkan. Sebagian publik Jepang mulai gerah. Mereka khawatir wajah negara yang di kenal berbudaya tinggi itu berubah menjadi taman bermain seksual di mata dunia. Tapi sejauh ini, pemerintah tampak enggan menindak tegas, mungkin karena sektor ini terlalu menguntungkan untuk di tekan begitu saja.
Sementara itu, para turis terus berdatangan. Beberapa datang untuk penasaran, lainnya memang sengaja menjadikan Jepang sebagai destinasi seksualitas alternatif yang “aman dan bersih”. Dan konten-konten viral itu terus di produksi—mengaburkan batas antara hiburan, dokumentasi, dan eksploitasi.
Di era di mana segalanya bisa di viralkan, bahkan hal paling pribadi pun bisa berubah menjadi tontonan publik. Wisata seks Jepang, dari yang dulunya tersembunyi, kini menduduki etalase utama dunia digital. Tanpa sensor. Tidak malu. Tanpa rem.